Anak Belajar untuk Diterima Lingkungannya

October 3, 2020

Setiap anak itu unik, jujur, dan seringkali menyampaikan opininya secara spontan di tempat umum. Hal ini yang saya yakini, hingga suatu peristiwa membuat saya merefleksikan kembali bagaimana kebenaran pernyataan tersebut. Suatu saat saya diminta untuk mendampingi 50 siswa saya dalam sebuah pelatihan menulis fiksi yang dilaksanakan secara daring. Semua berjalan sebagaimana yang saya ekspektasikan. Siswa-siswa saya bersahutan ingin didengar setiap kali pemateri menyampikan satu informasi. Pemateri menyampaikan tiga ide besar dalam menulis fiksi, yakni bagian pembuka yang menarik, isi, dan akhir cerita yang harus ada agar pembaca senang membaca tulisan kita. 

Pada pemaparan bagian pembuka tulisan, pemateri menampilkan dua tulisan secara berdampingan agar siswa mudah membaca dan membuat perbandingan secara cepat. Tulisan pertama berlatar hijau dan tulisan kedua berlatar biru. Tak lama setelahnya, pemateri bertanya tulisan mana yang lebih baik. Sebagian besar siswa kelas enam dan lima menyatakan tulisan berlatar hijau lebih baik daripada tulisan berlatar biru. “Tunggu dulu”, bisik saya dalam hati. Rasanya tidak juga. Keduanya memiliki susunan kata yang baik dan panjang paragraf yang sama. Justru menurut saya tulisan berlatar biru lebih baik karena lebih mudah dipahami. Tak lama setelah saya berpikir demikian, saya berniat menyatakan pendapat saya kepada pemateri, namun gagal karena banyak siswa ikut menyatakan hal yang sama. Alih-alih takut mengacaukan sesi pelatihan, saya justru reflek mengamati bagaimana respon siswa saya dari ekspresi wajah dan suara mereka. Siswa kelas tiga dan empat yang akhirnya terlihat ragu, akhirnya mengikuti apa yang dinyatakan oleh kakak kelas mereka. Kejadian ini terulang ketika pemateri bertanya mana yang lebih peserta sukai antara cerita dengan akhir yang jelas atau cerita yang menggantung. Siswa di kelas enak lantang berkata “ending yang jelas kak”. Dua anak kelas tiga sempat berkata “lebih seru yang menggantung tau!”, samar hingga akhirnya tenggelam oleh pendapat pertama. Saya jadi berpikir, masa sih semua punya pendapat yang sama? Masa sih tidak ada yang punya pendapat berbeda? Atau jangan-jangan, anak-anak cenderung mengikuti suara mayoritas?

Apa yang mungkin terjadi pada kelompok siswa saya ini terkait dengan sebuah istilah yang saya pelajari di bangku kuliah dulu, yakni konformitas. Konformitas didefinisikan sebagai bentuk pengaruh sosial di mana seseorang mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma kelompoknya (Baron, Byrne, dan Branscombe 2008). Konformitas terjadi karena seseorang cenderung ingin disukai dan diterima oleh anggota kelompok. Hal ini lumrah terjadi karena manusia ingin mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu pernah mendengar anak remaja yang rela membeli tas atau sepatu terbaru agar bisa mengikuti tren terkini yang digunakan teman-teman sebayanya. Konformitas muncul karena manusia menyadari adanya norma sosial, yakni aturan-aturan yang diyakini berlaku untuk anggota kelompok atau masyarakat. Norma sosial dapat berupa injunctive norms, yaitu hal apa yang seharusnya kita lakukan atau descriptive norms, apa yang kebanyakan orang lakukan. Pada descriptive norms, tidak ada aturan jelas atau yang disepakati secara tertulis. Anggota kelompok hanya sama-sama tahu apa yang kebanyakan anggotanya lakukan. 

Neuroscience of Risky Shift | Shift Happens!

Penelitian Solomon Asch (1951, 1955, dalam Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008) menunjukan hal yang serupa dengan apa yang siswa saya alami. Asch melakukan eksperimen dengan memberikan pertanyaan sederhana “mana garis yang sama dengan garis contoh?”. Partisipan tidak menyadari bahwa Asch mendatangkan tujuh orang lainnya yang bertugas sebagai confederates, yaitu asisten peneliti yang bertugas “membelokkan” jawaban partisipan. Tujuh orang ini memberikan jawaban yang salah dengan suara lantang sebelum partisipan memberikan jawabannya. Hal ini diulang sebanyak 18 kali hingga pada waktu tertentu partisipan yang tadinya memberikan jawaban yang benar menjadi mengubah jawabannya mengikuti jawaban mayoritas. Penelitian ini membuktikan bahwa saat seseorang menemukan bahwa penilaian dan tingkah lakunya berbeda dengan orang kebanyakan, ia akan cenderung mengubah dan mengikuti apa yang kebanyakan orang tampilkan. 

Kembali ke kasus 50 siswa saya. Sebuah pertanyaan muncul di benak saya. Apakah konformitas sudah muncul di usia anak-anak? Atau lebih tepatnya kapan konformitas ini mulai muncul pada diri seorang anak manusia? Sebuah penelitian dari Schmidt dan Tomasello (2012) membuktikan bahwa anak-anak prasekolah tidak hanya bertindak sesuai dengan norma sosial, mengikuti arahan dan instruksi orang dewasa, tapi juga secara aktif mengakkan norma sosial pada orang lain.  Piaget (1932) mencatat bahwa anak prasekolah pada awalnya mengikuti aturan karena meniru instruksi orang tua. Kemudian, dimulai sekitar usia 3 tahun, seorang anak sudah mulai bisa mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok tertentu, seperti keluarga dan kelompok bermain, yang memiliki aturan dan budaya tertentu, sehingga tingkah lakunya mulai dipengaruhi keinginan untuk merasa diterima oleh anggota kelompok lain (Schmidt dan Tomasello, 2012).

Melihat konformitas yang sudah hadir pada diri anak prasekolah, orang tua dan guru perlu memahami bahwa anak-anak lahir dengan kecerdasan alamiah untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Anak mampu membaca kecenderungan tingkah laku mayoritas kelompoknya. Norma sosial dan kecenderungan manusia untuk melakukan konfirmitas memberikan manfaat positif. Aturan implisit yang dicontohkan orang dewasa seperti mencuci tangan sebelum makan, memberi makanan hewan peliharaan, dan menyiram tanaman setiap sore hari membantu membentuk kebiasaan baik pada anak. Namun, jangan sampai norma sosial membatasi opini anak. Sebagai seorang guru, saya suka mengatakan ke murid-murid saya bahwa tidak semua hal bersifat hitam dan putih, apalagi untuk hal-hal yang menyangkut preferensi personal; mana yang lebih disukai dan menyenangkan untuk dipilih. Orang tua dan guru juga perlu peka melihat apakah anak bertindak dan memiliki sikap tertentu karena keinginannya atau karena semata ingin merasa sama dan diterima teman-temannya. 

Daftar Pustaka

Baron, R.A., D. Byrne, dan N.R. Branscombe, 2008. Social Psychology. Edisi 12. Boston: Pearson. 

Piaget, J. (1932). (See References). A historical classic that started the investigation of young children’s understanding of social norms.

Schmidt, M. F., Rakoczy, H., & Tomasello, M. (2012). Young children enforce social norms selectively depending on the violator’s group affiliation. Cognition124(3), 325-333.

error: Content is protected !!