Kenapa Susah Sekali Membangun Kebiasaan Baik?

February 6, 2021

 oleh

Bellita N. Pratiwi, Rana Dwinadia, Hastin Melur Maharti, & Hervi Utami Kusumadewi

“Kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten tanpa terasa akan membuahkan hasil yang besar di kemudian hari.” Dayadik

Beberapa bulan lalu, salah satu dari kami (Bellita) mengisi webinar mengenai belajar mandiri di salah satu sekolah swasta. Pada sesi tanya jawab di webinar tersebut, orang tua dan guru mengeluhkan mengenai susahnya membuat murid terbiasa untuk belajar mandiri. Memang benar bahwa di berbagai sumber dikatakan agar murid dapat belajar mandiri, ada baiknya mereka dibiasakan untuk menetapkan tujuan besar dan memecahnya menjadi tujuan-tujuan yang lebih kecil. Kenyataannya, rencana tersebut seringkali terbengkalai dan tujuan pun tidak tercapai. Selain itu, cerita dari para guru dan orang tua pun beralih kepada pengalaman diri mereka sendiri. Mereka mengakui bahwa untuk diri mereka yang sudah dewasa saja, sulit sekali berusaha secara rutin dalam mencapai tujuan-tujuan kecilnya. Biasanya mereka bersemangat di awal, namun lama-lama rasa malas pun muncul.

 

Pentingnya Kemenangan Kecil

Berdasarkan pengalaman di atas, kami menyadari bahwa membangun suatu kebiasaan atau rutinitas bukanlah hal yang mudah, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Mengapa tidak mudah? Ternyata ada lho penelitian yang dapat menjelaskan fenomena ini. Hasil eksperimen yang dilakukan oleh Oettingen dan Mayer (2002) menunjukkan bahwa seringkali rasa malas muncul karena kita lebih fokus terhadap tujuan akhir dan bukan pada usaha yang perlu dikerahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, jika fokus pada proses, akan lebih mudah bagi kita untuk merasakan “kemenangan-kemenangan” kecil yang mengarahkan pada kemajuan. “Kemenangan” ini dapat dirasakan dengan memulai dari hal-hal kecil dan berkelanjutan. Maka, kita akan semakin dekat dengan sesuatu yang ingin kita capai. 

Lantas, apa saja yang bisa dilakukan untuk membangun kebiasaan baik? Berikut enam tips praktis yang bisa dicoba oleh guru dan diajarkan kepada murid untuk membangun kebiasaan-kebiasaan baik:

1.Buat Kalimat Deskripsi Diri 

Kalimat tersebut berawalan dengan kata “saya”. Murid bisa menuliskan identitas yang menggambarkan dirinya diawali oleh kata “saya” tersebut. Sebagai contoh: “saya adalah seorang pemain basket”, “saya adalah seorang pembaca”, dan “saya adalah seorang murid”. Coba ajak murid merefleksikan lebih dalam karakteristik pribadi yang dianggap paling menggambarkan identitas diri mereka.

Selama murid menuliskan kalimatnya masing-masing, guru dapat mengamati murid mana yang mengalami kesulitan. Strategi yang dapat digunakan guru adalah dengan memberikan pertanyaan pemicu. Misalnya dengan menanyakan kepada mereka kira-kira karakteristik apa yang mereka harap diingat oleh teman mereka. Misalnya, karena Hastin ingin agar orang-orang di sekitarnya mengingatnya sebagai orang yang cerdas, maka Hastin pun menjawab bahwa ia ingin orang-orang berkata “Temanku, Hastin, adalah orang yang cerdas”.

 

2. Lihat Tokoh Inspiratif 

Guru perlu menanyakan kepada murid tentang “apa yang biasanya dilakukan oleh orang-orang dengan gambaran diri tersebut?”. Murid diajak untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuannya tersebut. Guru sebagai fasilitator dapat melakukan tips ini dengan mengajak murid untuk berdiskusi bersama-sama. Misal: Murid mengatakan “Saya adalah seorang pemain basket”. Guru bisa membantu murid ini untuk menyebutkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pemain basket. Hal itu bertujuan untuk membantu murid dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan yang serupa untuk menjadi pemain basket juga sebagai tujuan yang ingin dicapai tersebut. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan tersebut dilakukan secara konsisten sehingga menjadi sesuatu yang terbiasa dilakukan oleh murid sebagai pemain basket yang menjadi tujuan yang ingin dicapainya. 

 

3. Definisikan Ulang Makna Kegagalan 

Guru perlu bertanya kepada murid “apa yang membuatnya berhasil sebagai pemain basket?”. Murid kebanyakan akan mengaitkan keberhasilan dengan pencapaian perlombaan atau kompetisi tertentu. Berdasarkan jawaban ini, guru bisa menggali lebih jauh apakah murid tidak lagi menjadi pemain basket jika ia gagal dalam pertandingan. Kesempatan ini dapat digunakan oleh guru untuk mendefinisikan ulang arti kegagalan. Murid mungkin saja gagal dalam kompetisi, Akan tetapi, “pemain basket” tetap menjadi karakteristik pribadinya selama ia masih rutin berlatih di akhir pekan. Menetapkan kembali kebiasaan kecil yang mewakili identitas diri lebih penting dibandingkan pencapaian satu tujuan saja.

 

4. Buat Sesi Refleksi 

Guru dapat membuat sesi refleksi di akhir kelas tertentu secara berkala. Berikan pertanyaan kepada murid apakah mereka masih menjalankan kebiasan baik tersebut, apakah ada perubahan rencana yang diinginkan murid. Ajak murid berefleksi kembali. Setelah menjalankan kebiasaan baik dalam kurun waktu tertentu, apakah kalimat deskripsi yang mereka tulis di awal sesi masih menggambarkan identitas diri mereka sesungguhnya. Contoh kalimat refleksi yang bisa guru gunakan adalah “apakah aku masih seorang pemain basket? Bagaimana aku tahu kalau aku adalah pemain basket? Apa yang telah aku lakukan sebagai seorang pemain basket?”. Pada sesi refleksi ini, murid mungkin saja mengungkapkan bahwa mereka ingin mengubah kalimat deskripsi milik mereka. Maka, penyesuaian kembali kalimat deskripsi identitas diri ini sangat mungkin terjadi. 

 

5. Gunakan Alarm Elektronik 

Ajak murid menggunakan alarm pengingat dengan bantuan media elektronik seperti kalender pada smartphone atau aplikasi google calendar. Media ini dapat digunakan sebagai pengingat kebiasaan baik di masa depan. Sebagai contoh, murid dapat membuat alarm di setiap hari ulang tahun atau dua tahun sekali. Alarm ini menjadi pengingat apakah kebiasaan baik berlatih basket atau membaca masih dikerjakan atau malah ditinggalkan oleh murid.

Referensi

Clear, J. (2018). Atomic Habits: An Easy & Proven Way to Build Good Habits & Break Bad Ones. New York: Penguin Random House.

Oettingen, G. & Mayer, D. (2002). The Motivating Function of Thinking About the Future: Expectations Versus Fantasies. Journal of Personality and Social Psychology, 83(5),  1198–1212.

error: Content is protected !!