Banyak orang mengira bahwa saya tidak suka menghadapi orang yang banyak tanya. Padahal sebenarnya saya senang, karena menurut saya banyak pertanyaan yang tampaknya sederhana, tapi tidak pernah terlintas dalam benak saya. Setiap pertanyaan tersebut memberikan stimulus yang berharga bagi pikiran saya, dan jika saya tidak tahu jawabannya, saya cukup bilang bahwa saya belum tahu dan minta ijin untuk mencari tahu terlebih dahulu.
Dalam pertemanan kami misalnya, di antara Hastin dan saya, Hastin merupakan yang lebih kritis dan sering bertanya. Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh Hastin selalu membuat saya berpikir, dan jika saya tidak tahu jawabannya, saya jadi penasaran dan terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut dari berbagai sumber. Pertanyaan dan diskusi-diskusi yang muncul setelahnya ini selalu menarik dan menambah wawasan saya. Dari sekian banyaknya pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh Hastin, ada satu yang menonjol bagi saya, yaitu seperti apa sebenarnya identitas pendidikan Indonesia.
Bagi saya, pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Salah satunya karena saya merasa tidak punya ingatan sama sekali mengenai apakah identitas pendidikan nasional pernah dibahas saat saya masih sekolah ataupun jadi topik perbincangan di lingkungan sekitar. Mungkin sebenarnya memang sudah dibahas, tapi kebiasaan saya melamun di kelas-lah yang menyebabkan saya tidak mendengarkan ajaran guru.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Hastin dan saya pun meninjau terlebih dahulu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan nasional didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya, dalam UU yang sama dinyatakan pula bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
Wow, untuk sebuah kalimat, kalimat tersebut panjang sekali. Kami menduga bahwa kalimat ini mungkin dimaksudkan untuk memuat seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Akan tetapi, saya masih tetap kurang paham dalam membaca kalimat tersebut. Membentuk watak, watak yang seperti apa ya? Peradaban yang bermartabat itu apa sih? Apa makna dan batasan akhlak mulia di sini? Apa itu cakap?
Setelah membaca undang-undang tersebut beberapa kali, saya masih saja bingung. Kemudian, saya berpikir, apakah ada sumber lain yang lebih mudah dimengerti mengenai identitas ini. Saat melakukan studi literatur, saya menemukan informasi yang menarik mengenai Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dewantara merancang pendidikan berdasarkan konsep student-centered education dan dipengaruhi oleh pemikiran Montessori, Fröbel, sistem sekolah Dalton, serta perguruan Santiniketan yang didirikan oleh Rabindranath Tagore (McVey, 1967). Meskipun tidak memenuhi standar pemerintah, Taman Siswa dinilai memiliki konsep yang kreatif pada masanya dan berhasil menghasilkan lulusan-lulusan yang kritis dalam berpikir (McVey, 1967). Sistem pendidikan di Taman Siswa inilah yang digunakan Dewantara dalam menetapkan sistem pendidikan Indonesia (Tsuchiya, 1975).
Pendidikan yang diterapkan di Taman Siswa pada awalnya dilandaskan oleh tujuh asas Taman Siswa, namun ketika Indonesia merdeka ketujuh asas ini direvisi menjadi lima asas atau prinsip yang disebut Pancadharma (Kelch, 2014; Muthoifin, 2015; Nishimura, 1995; Tsuchiya, 1975). Perubahan menjadi Pancadharma ini dilakukan agar sejalan dengan Pancasila. Selain itu, asas kemanusiaan, nasionalisme, dan demokrasi yang terkandung dalam Pancadharma juga sejalan dengan Pancasila (Nishimura, 1995). Adapun Pancadharma itu mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Kodrat Alam
Dalam asas kodrat alam, Dewantara menekankan pentingnya perkembangan alamiah bakat masing-masing anak, baik secara fisik, kognitif, maupun sosioemosional (Claramita, 2016; Nishimura, 1995). Dengan demikian, pendidikan yang baik diharapkan bukan hanya mengutamakan pengetahuan teoretis atau akademis siswa saja, tapi juga kemampuan mereka dalam meregulasi emosi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
2. Kemerdekaan
Untuk mendukung perkembangan alamiah anak, maka guru perlu memperhatikan asas yang kedua, yaitu kemerdekaan. Dalam asas kemerdekaan, guru diharapkan memelihara dan mendidik anak dengan kehangatan dan menghindari paksaan ataupun hukuman (Nishimura, 1995). Asas kemerdekaan menunjukkan pentingnya memberikan ruang dimana anak bebas berpikir dan bertindak (Claramita, 2016; Muthoifin, 2015; Nishimura, 1995). Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk memenuhi hak namun tetap mengingat batasan dan kewajiban yang ada (Muthoifin, 2015). Dengan begitu, kehidupan bersama yang tertib dan damai dapat tercipta. Oleh karena itu, pemberian kebebasan juga perlu diimbangi dengan memberikan anak kesempatan untuk merefleksikan tindakannya (Muthoifin, 2015).
Di lingkungan Taman Siswa, asas kodrat alam dan kemerdekaan ini terwujud dalam sistem Among, yang dilaksanakan dengan semboyan Tut Wuri Handayani (Claramita, 2016; Nishimura, 1995). Dalam menerapkan sistem Among, guru diharapkan belajar bersama siswa. Meskipun guru bertugas untuk membimbing siswa, tetapi ada baiknya guru mengikuti arah pembelajaran yang diinginkan siswa melalui kesetaraan dalam berpartisipasi. Kesetaraan ini hendaknya bukan hanya diterapkan dalam hubungan antara guru-siswa, tapi juga orang tua-anak. Selain memberikan kebebasan bagi siswa, guru juga diharapkan tetap memberikan arahan saat diperlukan dan membimbing siswa untuk merefleksikan tindakan, kegagalan, ataupun kesalahan mereka (Claramita, 2016; Nishimura, 1995).
3. Kebudayaan
Menurut Dewantara, anak harus dididik bukan hanya untuk mengembangkan pikiran mereka, tetapi juga kebudayaan (Tsuchiya, 1975). Kebudayaan pada dasarnya berisi cara yang terbukti secara turun-menurun berhasil memudahkan manusia menghadapi kendala atau masalah tertentu di lingkungannya (Muthoifin, 2015). Kendati demikian, kehidupan masyarakat terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pun berubah dan menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, penting bagi siswa untuk belajar bukan hanya menjaga budaya lokal mereka, tetapi juga mempelajari sejauh mana budaya tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini, serta menyesuaikan budaya dengan perkembangan zaman (Tsuchiya, 1975). Dengan begitu, warisan kebudayaan nasional terjaga dan tetap relevan bagi kehidupan masyarakat di masanya (Tsuchiya, 1975).
4. Kebangsaan
Asas kebangsaan dimaksudkan untuk memelihara rasa menyatu dengan bangsa sendiri dan mencapai kehidupan berbangsa yang bahagia (Muthoifin, 2015; Nishimura, 1995). Dewantara menekankan bahwa rasa kebangsaan atau nasionalisme tidak boleh bertentangan dengan asas kelima, yaitu asas kemanusiaan (Nishimura, 1995).
5. Kemanusiaan
Yang dimaksud dengan asas kemanusiaan adalah meskipun kita bangga terhadap bangsa dan negara sendiri, rasa bangga tersebut tidak boleh ditunjukkan dalam bentuk permusuhan terhadap negara atau bangsa lain (Claramita, 2016; Kelch, 2014; Nishimura, 1995). Kemanusiaan yang dimaksud oleh Dewantara juga berarti pentingnya menunjukkan sensitivitas dan kepedulian akan kebutuhan sesama manusia, terlepas dari latar belakang ras, agama, politik, sosial ekonomi, ataupun budaya (Claramita, 2016; Kelch, 2014; Nishimura, 1995).
Penerapan Asas Taman Siswa
Asas-asas Taman Siswa pada dasarnya banyak terinspirasi oleh trend sistem pendidikan student-centered education yang muncul pada awal abad 20 (Nishimura, 1995). Sayangnya, Dewantara tidak menjelaskan secara rinci bagaimana tepatnya kelima asas ini diterapkan (Claramita, 2016). Dalam merumuskan asas kemerdekaan misalnya, Dewantara menekankan pentingnya kesetaraan antara guru-siswa dan orang tua-anak melalui dialog dua arah. Dialog ini dapat berbentuk diskusi, negosiasi, ataupun perselisihan pendapat. Dengan adanya dialog, siswa akan terstimulasi untuk memaknai pengalamannya dan lebih independen dalam berpikir. Dewantara menekankan pentingnya proses memaknai pengalaman, termasuk kesalahan dan kegagalan. Kendati demikian, Dewantara tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana langkah-langkah untuk membantu siswa memaknai pengalamannya. Padahal, jika dikaji lebih jauh gagasan Dewantara ini erat kaitannya dengan social constructivism theory dari Vygotsky (Claramita, 2016).
Keterbatasan lainnya adalah Dewantara cenderung menggunakan istilah dalam Bahasa Jawa alih-alih istilah yang secara universal digunakan dalam dunia pendidikan (Claramita, 2016). Keterbatasan-keterbatasan ini membuat masyarakat kesulitan memahami ideologi Taman Siswa. Bahkan pengikut Dewantara pun tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai ideologi Taman Siswa. Oleh karena itu, para pengikutnya kesulitan dalam memberikan alasan yang kuat mengapa asas Taman Siswa harus dipertahankan sebagai landasan utama pendidikan di Indonesia (Claramita, 2016).
Kurangnya pemahaman para pengikut terhadap ideologi Taman Siswa ini cukup disayangkan, mengingat tidak lama setelah Dewantara meninggal, fokus pendidikan di Indonesia lebih menekankan pemahaman siswa akan ilmu, dan mengesampingkan pentingnya perkembangan sosioemosional siswa (Hasan, n.d.). Guru-guru pun lebih terbiasa menggunakan pendekatan behaviorisme dalam mengajar, alih-alih konstruktivisme seperti yang diharapkan oleh Dewantara (Claramita, 2016). Tradisi ini mengakar kuat dalam praktik pendidikan Indonesia. Meskipun usaha untuk mengembalikan pengajaran ke arah student-centered education sudah dimulai sejak tahun 1975, namun hingga saat ini, sebagian besar sekolah di Indonesia tampaknya belum benar-benar efektif dalam menerapkan pendekatan tersebut (Hasan, n.d.).
Terlepas dari segala keterbatasannya, gagasan-gagasan Dewantara sebenarnya merupakan landasan yang berharga bagi pendidikan Indonesia. Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional yang ideal bagi Dewantara adalah pendidikan yang:
- mengutamakan perkembangan siswa, bukan hanya dari segi akademis, namun juga dari segi fisik dan sosioemosional;
- menerapkan proses belajar yang mengutamakan dialog dua arah yang konstruktif antara guru dan siswa;
- disesuaikan dengan lingkungan sekitar siswa;
- memelihara kesatuan bangsa;
- menghormati dan peduli akan kebutuhan sesama manusia terlepas dari latar belakangnya, sehingga dapat hidup berdampingan dengan damai.
Berefleksi terhadap hasil studi literatur saya mengenai Taman Siswa ini, saya bersyukur bahwa Menteri Pendidikan RI pertama adalah Ki Hadjar Dewantara. Saya semakin memahami mengapa pemerintah di kala itu sangat menghargai pendapat dan arahan beliau. Landasan pendidikan yang beliau tanamkan sungguh modern di masanya, dan menurut saya masih relevan hingga saat ini. Pertanyaannya, sudah sejauhmana kita berhasil menerapkan gagasan-gagasan beliau? Sejauhmana kita memperhatikan kesejahteraan sosioemosional siswa? Sejauhmana kita telah menerapkan dialog dua arah saat mengajar? Sejauhmana kita telah mempraktikkan dan mengajarkan kepada siswa bagaimana caranya menghormati orang dengan latar belakang yang berbeda dan hidup berdampingan dalam damai? Menurut Anda, bagaimana pendapat Dewantara mengenai pendidikan Indonesia saat ini jika beliau masih hidup hingga sekarang? Mari kita refleksikan pertanyaan-pertanyaan ini bersama.
Daftar Pustaka
Claramita, M. (2016). Revealing “Tut Wuri Handayani” – A Student-Centred Learning Approach – By Ki Hajar Dewantara from the Early 20th Century: A Literature Review. Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia, 5 (1), pp. 1-14.
Hasan, S.M. (n.d.). Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan Teoritik Pedagogis (1950 – 2005). Diunduh dari https://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/s_hamid_hasan.pdf
Kelch, K. (2014). Becoming history. Taman Siswa and its influence on the Indonesian national education (Master Thesis). Leiden University.
McVey, R. (1967). Taman Siswa and the Indonesian National Awakening. Indonesia, (4), 128-149. doi:10.2307/3350908
Muthoifin. (2015). Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara. Intizar, 21 (2), pp. 299-320.
Nishimura, S. (1995). The Development of Pancasila Moral Education in Indonesia. South East Asian Studies, 33 (3), pp. 303-316.Tsuchiya, K. (1975). The Taman Siswa Movement — Its Early Eight Years and Javanese Background. Journal of Southeast Asian Studies, 6 (2), pp. 164-177. doi:10.1017/S0022463400017306
Siswanto, A. (2020). TAMAN SISWA, AZAS, DASAR, DAN TUJUAN | a. siswanto. Diakses 3 Agustus 2020, dari http://asiswanto.net/?page_id=1199